Thursday, January 12, 2023

101 Science

101 Science

 101 SCIENCE

Seperti Apa Kiamat?
CNN Indonesia
Minggu, 01 Jan 2023 08:28 WIB
Bagikan :  

Ilustrasi. Ahli mengungkap berbagai jenis ancaman yang bisa membuat Bumi hancur. (iStockphoto/ratpack223)

Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang abadi, begitu juga Bumi. Sejumlah ancaman alami maupun ulah tangan manusia bisa membuat planet ini hancur perlahan maupun seketika bak kiamat.
Bintang yang bisa melahap planet, planet tetangga yang kejam, hingga lubang hitam yang bisa saja melahap satu tata surya, beberapa contoh ancaman dari luar.

Dari dalam, ada potensi erupsi besar gunung berapi serta pemanasan global yang dapat membuat dunia tak lagi layak huni. Manusia perlahan punah.

Ada juga prediksi teoretis yang bisa membaca nasib akhir planet, tetapi tidak banyak yang bisa kita ketahui karena keterbatasan pemodelan.

Seorang pembuat model planet di Laboratoire d'Astrophysique de Bordeaux di Bordeaux, Prancis, Sean Raymond telah menyelidiki banyak cara planet-planet bisa menemui ajalnya.

"Planet mati sepanjang waktu tepat di lingkungan galaksi kita," kata Raymond dikutip Space.

Berikut beberapa cara planet bisa mengalami ajalnya:


Bencana iklim
Siklus iklim bumi memainkan peran penting dalam memastikan planet ini agar tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk menopang kehidupan.

Namun, tidak butuh waktu lama bagi iklim di dunia berbatu seperti Bumi untuk hancur. Bentuknya pun bisa mengarah menjadi planet yang sangat panas atau sebaliknya dunia bola salju.

Di Bumi, suhu diatur oleh jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer (seperti air, metana, dan dinitrogen oksida) bertindak sebagai selimut, menjaga planet tetap hangat dengan memperlambat banyak radiasi matahari yang lolos kembali ke luar angkasa.

Saat karbon dioksida menumpuk di atmosfer, ia menghangatkan permukaan planet, menyebabkan hujan lebih banyak.

Curah hujan kemudian menghilangkan sebagian karbon dioksida dari atmosfer dan menyimpannya di batuan karbonat di dasar laut, dan planet mulai mendingin.

Jika karbon dioksida terakumulasi di atmosfer lebih cepat daripada yang dapat diserap kembali ke bebatuan, karena sesuatu seperti peningkatan aktivitas vulkanik, misalnya, dapat memicu efek rumah kaca yang tak terkendali.

Suhu dapat naik di atas titik didih air, yang dapat menjadi masalah bagi keberlangsungan kehidupan, mengingat semua kehidupan yang kita kenal membutuhkan air.

Naiknya suhu juga dapat memungkinkan atmosfer lepas ke luar angkasa, menghilangkan perisai pelindung yang membelokkan radiasi dari matahari planet dan bintang lainnya.

"Pemanasan rumah kaca adalah fakta kehidupan untuk atmosfer, dan diinginkan sampai taraf tertentu," tulis Raymond, "Tapi hal-hal bisa menjadi tidak terkendali.

Panas bukan satu-satunya cara iklim bisa mematikan seisi bumi. Ketika sebuah planet menjadi cukup dingin, seluruhnya bisa berubah menjadi dunia bola salju, sebuah benda berbatu yang tertutup es.

Es dan salju cerah memantulkan sebagian besar panas bintang kembali ke angkasa, menyebabkan dunia semakin dingin.

Di dunia dengan gunung berapi di permukaan, letusan dapat membuang karbon dioksida dan gas lainnya kembali ke atmosfer, memanaskan kembali dunia. Jika tidak memiliki lempeng tektonik, dunia mungkin terkunci secara permanen dalam keadaan bola salju.

Menurut Raymond, semua planet yang berpotensi memiliki kehidupan menghadapi risiko bencana iklim, yang dapat membuat sebuah planet tidak dapat dihuni meski tidak sepenuhnya menghancurkannya.


Hantaman asteroid
Asteroid berbatu dan komet es adalah 'remahan' planet yang dapat menyebabkan masalah signifikan bagi planet lain, terutama saat terbang bersama raksasa es dan gas.

Saat planet-planet menetap di orbit terakhirnya, tarikan gravitasi dapat menggerakkan asteroid dan komet, sehingga bisa berpotensi mengancam bumi yang berujung kiamat.

Beberapa dapat didorong ke pinggiran sistem planet, sementara yang lain terlempar ke dalam, akhirnya bertabrakan dengan dunia berbatu, tempat kehidupan mencoba berkembang.

Di tata surya luar kita, gerakan terakhir Neptunus saat ia menetap di orbit permanennya mendorong banyak komet ke dalam, melewatinya dari planet ke planet hingga mencapai Jupiter.


Jupiter melemparkan beberapa dari benda-benda es ini ke luar, tetapi yang lain terlempar ke dalam menuju Bumi selama periode yang dikenal sebagai Pengeboman Berat Akhir atau Late Heavy Bombardment.

Saat ini, Bumi terus mengakumulasi sekitar 100 ton material antarplanet setiap hari dalam bentuk debu. Objek yang lebih besar dari sekitar 100 meter, jatuh ke permukaan hanya sekali setiap 10.000 tahun, sementara benda yang lebih besar dari dua pertiga mil (1 kilometer) jatuh hanya sekali setiap beberapa 100.000 tahun.

Ketika planet-planet raksasa melemparkan remah-remah yang merusak ini ke arah matahari, tabrakan melonjak, dan benturan lebih sering terjadi.

Benda berukuran sedang dapat membuang debu dan kotoran ke atmosfer, yang dapat mengganggu proses atmosfer.


Tumbukan raksasa dapat menyebabkan efek yang lebih mengerikan, tidak hanya karena kehancuran di titik nol, tetapi juga karena dapat membuang puing-puing yang cukup untuk menimbulkan dampak pada musim dingin, melemparkan planet ke zaman es.

Dengan cukup banyak dampak yang ditembakkan berturut-turut, efek iklim dapat saling bertumpuk hingga akhirnya membuat dunia tidak dapat dihuni.

Berdasarkan pengamatan sisa-sisa planet yang ditemukan di sekitar bintang lain, Raymond menghitung bahwa sekitar 1 miliar planet mirip Bumi di galaksi pada akhirnya akan dihancurkan oleh pemboman asteroid.


Dilahap Matahari
Seperti planet, bintang dapat berakhir dan perubahannya dapat berdampak drastis pada planet yang mengorbitnya. Terlebih, ada bintang yang bisa melahap planet.
Di tata surya kita, Venus dan Merkurius diprediksi akan ditelan oleh Matahari. Sementara, perubahan gravitasi Matahari akan mendorong Mars dan planet luar lebih jauh.

Bumi berada tepat di ujung tanduk dan mungkin mengalami nasib baik. Sekitar 4 miliar dunia berbatu kemungkinan besar dikonsumsi oleh bintang yang perlahan-lahan bersinar terang.


Berdasarkan pengamatan, bintang paling masif biasanya akan meledak dalam bentuk supernova setelah masa hidup yang relatif singkat selama beberapa juta tahun.

Tidak ada planet yang ditemukan di sekitar bintang masif ini, tetapi itu mungkin karena hanya ada sedikit bintang masif untuk dicari, dan planet ekstrasurya masih sulit ditemukan.

Apa pun itu, planet mana pun di sekitar bintang raksasa kemungkinan besar akan dihancurkan oleh ledakan kematian bintang tersebut.

Disantap Lubang Hitam
Lubang Hitam atau black hole super besar banyak ditemukan di antariksa. Lubang ini perlahan terus-menerus memakan benda langit seukuran Bumi setiap detiknya sehingga bisa menyebabkan kiamat jika melahap bumi.

Para astronom menemukan Lubang Hitam itu tumbuh begitu cepat dan bersinar 7.000 kali lebih terang dari seluruh penghuni di Bima Sakti. Mereka juga menyebut Lubang Hitam tersebut tumbuh paling cepat dalam 9 miliar tahun terakhir.

Lubang hitam itu dinamai SMSS J114447.77.430859.3 atau disingkat J1144. Lubang itu berjarak 7 miliar tahun untuk melahap Bumi.

J1144 memiliki massa 2,6 miliar kali massa Matahari atau 500 kali lebih besar dari Sagitarius A, lubang hitam terbesar di Bima Sakti.

Biasanya lubang hitam tidak dapat dilihat karena tidak memancarkan cahaya. Namun para astronom dapat melihat lubang hitam karena gravitasinya yang kuat menarik materi menuju cakrawala.

Lava di perut bumi
Benda-benda langit di sekitar Bumi dapat menarik orbit planet yang artinya bisa memberi tekanan hawa panas pada bagian planet untuk meningkatkan panas lapisan tengah bumi, yaitu mantel.

Hawa panas itu harus menemukan cara untuk keluar, dan metode yang paling umum adalah melalui gunung berapi.

Lihat Juga :
Venus Indah tapi Bak Neraka, Suhu Tembus 400 Derajat Celsius
Aktivitas vulkanik dapat secara signifikan mempengaruhi lingkungan planet. Partikel gas dan debu yang dibuang ke atmosfer oleh gunung berapi dapat memengaruhi atmosfer planet, mendinginkan planet, dan melindunginya dari radiasi yang masuk.

Pada 1815, letusan Gunung Tambora tercatat sebagai letusan terbesar dalam sejarah Bumi. Tambora memuntahkan begitu banyak abu sehingga menurunkan suhu global, membuat tahun 1816 disebut sebagai "tahun tanpa musim panas".

Gunung berapi juga dapat menyebabkan efek sebaliknya, yaitu pemanasan global. Hal itu karena pemanasan global melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer.

Letusan gunung berapi yang sering dan besar dapat memicu efek rumah kaca yang tak terkendali, yang akan mengubah dunia layak huni seperti Bumi menjadi sesuatu yang lebih mirip Venus.



Baca artikel CNN Indonesia "Seperti Apa Kiamat?" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230101080621-199-894593/seperti-apa-kiamat.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/
 

Ad Placement